Bagi saya laptop masih merupakan barang mewah. Tentu saya selalu berangan-angan untuk memilikinya, karena memang tuntutan pekerjaan di tengah jaman yang makin tak kenal kompromi ini. Kehadiran laptop memang praktis dan berasa benar manfaatnya. Misalnya seorang wartawan bisa langsung mengemas berita ketika meliput ke daerah pelosok. Atau seorang mahasiswa bisa ngetik langsung saat “nyontek” referensi di perpustakaan untuk keperluan skripsi. Intinya, laptop mempercepat dan mempermudah pengerjaan yang harus dikerjakan di luar rumah atau kantor, terlepas dari sekedar gaya-gayaan.
Kita masih ingat, ketika hand phone yang awalnya barang mewah, menjadi primadona dan memasyarakat di awal tahun 2000-an. Dari mulai pelajar, supir angkot bahkan tukang becak, semua tak ingin ketinggalan memiliki hand phone. Ya, jaman terus bergeser dan bila kita tak ingin tergilas jaman, mau tidak mau kita harus “ikut-ikutan.”
Tak lama lagi saya kira, laptop akan menjadi tren di masyarakat seperti halnya hand phone. Mungkin, kita yang kelas menengah ke bawah, pada akhirnya harus “ikut-ikutan” pula punya laptop. Apalagi komputer jinjing ini makin dipopulerkan oleh mas tukul di acara empat mata. Tapi tentunya kita harus susah payah dulu nabung untuk membelinya. Tidak seperti para anggota dewan terhormat yang mendapatkannya secara gratisan.
Seperti yang diberitakan di berbagai media massa hari ini (22/3), pemerintah akhirnya menyetujui pencairan dana APBN sebanyak 12,1 milyar (glek…) guna penyediaan laptop bagi 550 anggota dewan. Fasilitas itu katanya diperlukan guna meningkatkan efektifitas kerja para anggota dewan. Banyak kalangan yang protes dengan kebijakan ini, karena dianggap tak penting. Apalagi sekarang ini banyak saudara-saudara kita yang masih terlantar akibat rentetan bencana akhir-akhir ini. Kita masih ingat ketika beberapa waktu lalu, menteri keuangan Sri Mulyani melaporkan bahwa kas negara untuk korban bencana kosong. Lalu apakah laptop lebih penting dari pada korban bencana? Wakil ketua DPR, Zainal Ma’arif menangkis pertanyaan itu dengan sederhana. Menurutnya masing-masing pos sudah ada anggarannya masing-masing. Jadi dana dari pos lain tidak bisa dianggarkan untuk pos lainnya (sampe segitunya…). Ditambah lagi katanya, tidak semua anggota dewan mampu beli laptop (masa sih…).
Bagi saya pribadi, saya sangat setuju bila tiap anggota dewan memiliki laptop. Ya, demi efektifitas kerja! Tapi bukan begitu caranya bung. Lagi pula saya yakin banyak anggota dewan yang sudah memiliki laptop. Kita tentu sangat mengharapkan kejujuran mereka untuk tidak menerima kebijakan ini. Mari kita hitung, dana 12,1 milyar, bila dibagi untuk 550 orang, maka harga laptop perunit adalah 22 juta. Kenapa harus 22 juta? butuh spek yang tinggi? emangnya bapak2 grafic designer? video editor? klo buat ngetik doang mah pake aja yang harganya 5-7 juta. paling yang kepake cuma ms word dan excel. kecuali klo mo nonton bokep, ya wajar sih harus pake yang 22 juta, biar gambarnya pooool!! Atau klo masih gengsi dgn harga 5 juta, ambilah yang sekitar 10 jutaan. Bila dihitung anggaran bisa lebih irit 12 juta/unit. Secara keseluruhan kas APBN bisa selamat dari pemborosan senilai 6,6 milyar. Nah, sisa dana itu bisa dialokasikan untuk korban bencana (Masa sih ngga bisa?). atau bila bpk/ibu/sdr punya hati nurani, silakan beli laptop dengan duit masing-masing. Dengan begitu, laptop menjadi hak milik pribadi.
Baiklah para anggota dewan yang terhormat, semoga dengan hadirnya laptop di genggaman anda sekarang, kinerja anda bisa lebih baik dan bisa membuat rakyat gembira, seperti Mas Tukul yang mampu menghibur rakyat di tanah air ini dengan laptopnya. Yu, kembali ke lap…TOP!!
0 komentar:
Post a Comment