Monday, September 8, 2008

RBT dan “Generasi Mellow”

1 comment

Kehadiran RBT atau nada sambung pribadi, belakangan ini benar-benar menggoreskan catatan penting dalam sejarah peradaban industri musik khususnya di Indonesia. Sebuah lahan baru yang secara perlahan berpotensi menggeser industri musik konvensional yang tidak lama lagi (saya rasa) akan tenggelam. Ya, fenomena RBT semakin mengukuhkan era digitalisasi sebagai surga bisnis di abad ini. Selain menjadi lahan bisnis yang menjanjikan, RBT dianggap sebagai bentuk strategi dari artis-artis dan perusahaan major terhadap pembajakan yang nampaknya tak bisa dihapus.

Puncak kejayaan RBT berawal dari kesuksesan Samson. Seperti dikutip dari pasarkreasi.com, grup band ini mendapat penghargaan dari Panasonic Award 2006 sebagai RBT terlaris untuk lagu Kenangan Yang Terindah, di mana lagu ini berbulan-bulan menduduki posisi tangga lagu terbaik dan diunduh lebih dari 2,1 juta kali. Wow!! Adapun lagu-lagu lain dari album Naluri Lelaki telah diunduh lebih dari tiga juta kali. Bila untuk mengunduh dikenakan tarif Rp 7-9 ribu, total pendapatan RBT dari album itu mencapai Rp. 21 miliar lebih. Sukses luaarr biasa!!

Sukses RBT juga diraih Band Ungu yang mencapai 3 juta download untuk beberapa lagunya, seperti yang diklaim Yonathan Nugroho dari Trinity. Beliau mengakui bahwa penjualan dalam bentuk digital sekarang cukup menggembirakan. “Minimal membuat kami bisa bertahan, kalau tidak mungkin sudah terancam bangkrut” tukasnya (www.heartbeatstation.info).

Operator yang menjadi penyelenggara otomatis ikut ketiban rejeki nomplok. Misalkan Telkomsel yang 2% pendapatannya disumbang oleh RBT. Dengan total pelanggan aktif RBT Telkomsel rata-rata 3,3 juta, atau sekitar 10% dari total pelanggan Telkomsel yang mencapai 35 juta dan traffic RBT rata-rata 100 ribu per hari, maka revenue yang diperoleh Telkomsel dari RBT mencapai Rp900juta/hari (pasarkreasi.com).

Hmmm.. menggiurkan bukan? Pihak-pihak yang berkecimpung di dalamnya benar-benar banjir rejeki. Lalu bagaimana dengan konsumen? Mereka nampaknya fine-fine saja. Toh, mereka rela pulsanya dipotong Rp.7000/bln. Kalo bosan, ya tinggal UNREG. Sampai sini, saya pun fine-fine saja. Toh, saya pun bukan pelanggan RBT. Ngga merasa dirugikan.

Namun selanjutnya bisa ditebak. Akses menuju industri rekaman kini di buka lebar-lebar. Semua lagu yang mendayu-dayu adalah harta karun. Produser pun menutup mata. Tak peduli lagu itu bermutu atau tidak, yang penting memiliki potensi untuk menembus pasar RBT. Jangan heran bila di televisi, hampir setiap waktunya kamu disuguhi video klip lagu pop melow yang kebangetan dengan musik dan lirik yang super sederhana, disertai embel-embel iklan RBT. Di sini saya mulai prihatin… semua artis berlomba mengejar RBT.

“Generasi Mellow”
Sebelumnya, saya jelaskan dulu apa definisi mellow menurut versi saya. Generasi mellow di sini adalah mereka yang mengusung lagu-lagu lunak dengan kualitas vokal dan musik yang mengenaskan tanpa diiringi kreatifitas dan inovasi.

Kalau kita amati, makin hari band-band yang nongol ke permukaan rasanya seperti seragam. Betul tidak? Ya, hanya segelintir saja yang bisa dikatakan sedikit berbeda. Seniman-seniman itu seperti kehilangan otot kreativitasnya. Tak ada dinamika apalagi inovasi. Seorang teman berniat membuat sebuah lagu melow. Lalu saya tanya apa motivasinya. “Bisnis RBT sekarang kan lumayan, siapa tahu laku,” ujarnya gamblang.

Saya percaya, kebanyakan artis dan band-band sekarang memiliki orientasi seperti itu. sebuah motif yang tak perlu diperdebatkan lagi. Artis sekelas Shanti pun jujur mengenai hal ini. "RBT betul-betul jadi bisnis menjanjikan bagi industri rekaman. Kalau dibandingkan penjualan CD atau kaset secara konvensional, RBT memang lebih baik dari segi pemasukan," selorohnya (kilasberita.com).

Lalu kenapa saya mengait-ngaitkan RBT dengan generasi mellow? Ya, itu tadi. Semua artis membentuk karakter yang cocok untuk menembus pasar RBT. Semua harus setuju :) RBT yang laku adalah lagu yang mendayu-dayu, bukan lagu metal. Iya, kan?

Dengan demikian, semakin larisnya RBT melow, maka dipastikan akan banyak lagi bermunculan band-band bermotif RBT. Ngga usah muluk dulu ngejar target RBT samson yang jutaan itu. Hitungan puluhan ribu saja bagi si artis sudah untung. Katakanlah si artis pendatang baru cuma mendapat 700 perak, setelah disunat operator dan major. Bila RBTnya di download oleh misalkan 30ribu saja, berapa si artis dapat duit? Hitung aja sendiri hehe.. ya, Rp.21 juta! Dalam sebulan atau dalam setahun? Ngga penting. Jumlah tersebut sudah lumayan buat si artis, belum lagi dari lagu-lagu lainnya.

Terlepas dari apa yang mereka sebut sebagai strategi melawan pembajakan, saya lebih menilai tindakan mereka sebagai motif. Motif yang telah membawa wabah mellow yang berjangkit di masyarakat Indonesia saat ini. Terdengarnya seperti teori yang sinis, bukan? Ngga juga. Sebagai pecinta musik cadas, saya juga suka lagu-lagu cinta yang mellow. Tapi yang gimana dulu?

Saya hanya berpikir, kultur musik masyarakat kita sudah tidak stabil. Banyak teman-teman saya yang musisi rock ramai bereksodus membentuk band-band melow. Padahal seharusnya mereka punya tugas untuk mempertahankan keseimbangan kultur musik di masyarakat. Yeaach, saya hanya membeberkan realita bisnis musik yang benar-benar berdampak “efektif” pada kejiwaan masyarakat.

Yup, kehadiran RBT mellow ini seperti “hypnoterapi” bagi pengguna RBT, apalagi bila si pengguna sedang bersedih hati, maka lagu pilihan adalah lagu mellow. Saya jadi berpikir, dengan larisnya RBT melow, berarti banyak masyarakat kita yang kehidupannya tidak happy alias menyedihkan. Koreksi bila saya salah! Bila kondisinya seperti ini, maka saya berani prediksi, kalo masa kejayaan RBT masih panjang untuk satu atau dua tahun ke depan, bahkan lebih, sebelum masyarakat jenuh, atau sebelum ada perangkat baru yang lebih baik dari RBT.

“Efektifitas” lagu mellow
Seorang rekan bisnis tak kuasa menahan tangis di hadapan saya ketika ia curhat tentang kelakuan suaminya. Keesokan harinya saya coba telepon ke hpnya untuk memastikan dia baik-baik saja tentunya, maka terdengarlah RBT dengan lyrik berikut : “kau hancurkan aku dengan sikapmu…” well, hypnoterapi yang cocok. Jujur saya juga suka dengan lagu tersebut. Ya, karena band ini rada unik dari lainnya. Tapi bukankah seharusnya dia memasang lagu-lagu yang happy? Alhasil, beliau ini malah sedih berkepanjangan. Kalo kamu pernah tahu teori Law of Attraction, pasti kamu setuju pernyataan saya tadi.

Lagu-lagu mellow yang diperdengarkan secara masif dan terus-menerus secara langsung dapat berimbas juga pada emosi seseorang. Pernyataan saya ini sekaligus menyeimbangkan anggapan yang hanya menuding musik keras sebagai faktor pembawa negatif pada jiwa seseorang. Yeaach, setiap jenis musik sedikit banyak punya pengaruh negatif, namun itu semua tergantung keseimbangan mental yang dimiliki seseorang untuk menyikapinya.

Ini penelitian sederhana dari saya. Saya sering berkunjung ke rumah sohib saya yang sudah punya dua bocah yang lucu-lucu. Yang paling sulung umurnya sudah sekitar enam tahun, sedang adiknya lima tahun. Keduanya cowok. Ada perbedaan mencolok antara kakak beradik tersebut. Si kaka cenderung emosional, manja dan sering nangis.

Berbeda dengan adiknya yang periang, bahkan suka jailin si kaka. Usut punya usut, setelah saya amati ternyata si kaka hobi mendengarkan musik mellow. Ia tak segan meminta dinyalakan komputer hanya untuk memutar mp3 kesukaannya. Bahkan bocah ini hapal lirik-lirik dari band-band melow yang bermunculan. Suatu hari ia duduk di depan televisi. Perlahan matanya mulai basah. Rupanya si kaka sedang menonton sinetron yang diiringi lagu mellow. Kejadian itu sudah tidak aneh badi orang tuanya. Mereka memilih membiarkannya, karena bila digubris, si kaka malah melototi kedua orangtuanya. Hmm.. emosi si kaka ini bisa berpotensi bagus bila diarahkan ke arah yang tepat.

Sementara adiknya tidak seperti itu, karena setahu saya dia belum terlalu peduli dengan musik. Memang beda yah, kalau jaman kita yang mengalami masa kanak-kanak antara tahun 1985 s/d 90-an, kita disuguhi lagu-lagu ceria seperti abang tukang bakso, semut-semut kecil, dan lagu-lago cerio lainnya. Saya pikir seharusnya sekarang pun begitu, terutama bagi orang tua yang ingin membuat proporsi tepat bagi keseimbangan mental dalam pertumbuhan anaknya.

Kembali ke permasalahan, saya bukan iri terhadap band-band mellow yang mendadak kaya itu. Namun andai saja mereka mau sedikit putar otak dan bekerja keras dalam meng-create lagu, maka lagu-lagu itu tidak akan monoton (paling tidak menurut saya). Karena saya yakin mereka memiliki potensi untuk membuat lagu-lagu jenius seperti Band Efek Rumah Kaca (ERK) atau Everybody loves irene (ELI). Bahkan mungkin bisa lebih jenius dari mereka. Ini hanyalah sebuah penilaian.

Kehadiran musisi seharusnya bisa menjadi semacam kontrol sosial dalam berbagai aspek kehidupan. Sah-sah saja musisi berbicara cinta, berburu RBT, namun sebaiknya diimbangi dengan konsep cerdas dan bisa memberi pesan semangat dalam kehidupan pendengar. Sukur-sukur bisa bikin lagu-lagu yang happy.

Saya percaya mereka-mereka itu memiliki potensi berharga. Mereka bisa bicara apa saja. Mereka bisa bicara tentang alam, optimisme, harapan, atau apa pun. Hanya saja, kebanyakan musisi sekarang khususnya telah terjebak dalam kultur pop yang kebangetan itu tadi, di samping tergiur oleh pasar RBT. Padahal musisi adalah kunci untuk menyelamatkan kultur musik masyarakat agar tidak terjun lebih jauh ke arah pop yang seperti saya bilang tadi, KEBANGETAN. Namun bagi mereka yang masih bergantung di bawah kungkungan pihak label, saya rasa, harapan itu makin menjauh…

Ya sud lah, apa pun yang saya katakan pastinya ngga akan merubah situasi. Karena bagaimanapun itu adalah pilihan dan hak setiap orang. Saya hanya bisa bilang, “Selamat berburu RBT!!”

1 komentar:

Iwok said...

Honor dari sinetron? yah lumayanlah Gun, bisa keur ngaborong baju lebaran budak. hehehe .. sok atuh. minat teu nulis cerita sinetron? kabeneran urang di kontak deui keur sinetron sejen yeuh.

kalo minat, send email ya.