“Menurut kamu soulmate itu apa sih?” tanya sobat saya, dalam satu kesempatan.
“hmm.. menurut saya soulmate adalah ketika kita menemukan seseorang yang memiliki banyak kesamaan dengan diri kita.”
“wah klo menurut saya, justru sebaliknya. Karena perbedaan itulah yang membuat sebuah hubungan menjadi asik,” timpalnya kembali. Menurutnya, kondisi tersebut membuat dua orang bisa adu pendapat, sehingga setiap obrolan menjadi seru, seperti hubungan yang sedang ia jalani saat itu. Selain itu, katanya perbedaan membuat kita bisa saling mengisi kekurangan satu sama lain. “bayangkan, apa jadinya bila dua orang yang memiliki banyak kesamaan ngobrol? Pasti monoton.”
“hmm.. menurut saya soulmate adalah ketika kita menemukan seseorang yang memiliki banyak kesamaan dengan diri kita.”
“wah klo menurut saya, justru sebaliknya. Karena perbedaan itulah yang membuat sebuah hubungan menjadi asik,” timpalnya kembali. Menurutnya, kondisi tersebut membuat dua orang bisa adu pendapat, sehingga setiap obrolan menjadi seru, seperti hubungan yang sedang ia jalani saat itu. Selain itu, katanya perbedaan membuat kita bisa saling mengisi kekurangan satu sama lain. “bayangkan, apa jadinya bila dua orang yang memiliki banyak kesamaan ngobrol? Pasti monoton.”
Pendapat teman saya itu ada sedikit benarnya. Ceritanya begini, kemarin2 saya sedang dekat dengan seseorang (ya iyalah cewe!). Hubungan kami makin dekat ketika satu sama lain merasakan adanya banyak kesamaan. Mulai dari hobi sampai dengan nasib. Komunikasi pun makin sering walau pun harus belanja pulsa ampir tiap hari. Maklum kita beda kota . Ya, kita banyak berbicara tentang kesamaan. Saat itu saya benar-benar merasa telah menemukan “the true soulmate.” Ada dua alasan yang membuat saya mendaulatnya sebagai seseorang yang paling soulmate yang pernah saya temui. Pertama, secara keseluruhan dia mirip mantan pacar saya. Pokoknya gestur, suara dan fisik hampir 90% mirip. Satu saja yang membuatnya beda. Ia perokok berat. Kedua, tentu saja ia memiliki banyak kesamaan dengan saya.
Sampai pada suatu hari, soulmate saya itu main ke bandung . Tentu saja saya menyambutnya dengan riang gembira, apalagi udah lama ngga ketemu, kangeeen banget. Bagusnya dia sedang liburan dan berencana menginap di rumah. Lagian orang tua saya sudah kenal. Jadi saya pikir, ngga ada salahnya, biar bisa tambah dekat dengan keluarga.
Setelah empat hari menghabiskan waktu bersama, saya makin tahu semua tentang dia. Begitu pun sebaliknya. Tapi dari sinilah kegundahan muncul. Semakin banyak kesamaan, obrolan jadi sedikit monoton. Ya, hanya tentang kesamaan dan kesamaan. “Oh iya, saya juga seperti itu….” atau “lho ko sama…” dan bla bla bla. Tidak ada perbedaan pendapat, semua adem ayem dan damai2 sajah. Padahal klo dipikir justru enak yah klo banyak kesamaan, kayanya damai gitu. Entahlah, mungkin saya terprovokasi oleh pendapat teman saya itu. Tapi ada faktor lain yang membuat saya lebih menciut lagi. Kesamaan itu makin menjurus ke kebiasaan buruk masing2. Gila, dia benar-benar diri saya! Coba bayangkan, klo kamu punya pasangan yang kebiasaan buruknya sama dengan diri kamu.
Nah, bagusnya salah satu kebiasaan buruk itu diperlihatkan di depan mata ibu saya tercinta. “kita memang sama-sama tak bersahabat dengan pagi” alias selalu bangun siang! katanya itu sudah menjadi kebiasaan di rumahnya. Dan itu terbukti selama empat hari menginap di rumah saya. Gara-gara itu juga ibu saya matanya melotot. Apalagi tidurnya bersebelahan dengan ibu saya walaupun beda ranjang. bagi keluarga saya, bila belum bangun di atas jam enam pagi, itu sudah memalukan apalagi untuk seorang perempuan.
Sejak ia kembali ke kotanya, komunikasi mulai berkurang. Biasanya kita “berbalas pantun,” artinya dalam satu hari dering handphone bisa sampai tiga kali. Pagi, siang dan malam. Selanjutnya makin berkurang saja, dari mulai sehari sekali, lalu seminggu sekali dan akhirnya sesekali saja. Mungkin sudah sama-sama sadar dengan ke-soulmate-an yang keliru. Ditambah faktor jarak yang membuat saya kurang antusias untuk meneruskan hubungan.
Mungkin sebelum mencari soulmate yang lain, saya harus membenahi dulu kebiasaan buruk saya.
Bagaimana pun saya tetap mendefinisikan soulmate sebagai kesamaan. Dan walau hubungan saya dan dia makin renggang, saya tetap menganggapnya sebagai “the real soulmate.” Tapi ya begitulah… apa mau dikata… terlalu soulmate…;)
Ah, ada-ada sajah…
0 komentar:
Post a Comment