Wednesday, August 29, 2007

Bara Nasionalisme

Leave a Comment

Indonesia raya merdeka merdeka
Tanahku negeriku yang kucinta
Indonesia raya merdeka merdeka
Hiduplah Indonesia raya…

Hari ini SBY meresmikan patung perunggu proklamator RI, Soekarno-Hatta di wilayah bandara Soekarno-Hatta. Patung tersebut sengaja dibuat agar kita selalu ingat kepada jasa-jasa pahlawan kita terdahulu. Dengan begitu jiwa nasionalisme rakyat Indonesia yang “katanya” sudah luntur akan terbentuk kembali.

Benarkah rasa nasionalisme kita sudah luntur? Kita dapat menilainya dari berbagai perspektif. Menurut saya pribadi, wujud nasionalisme itu beragam. Kita ambil saja sedikit contoh. Bagi pecinta bola di tanah air tentu masih ingat ketika stadion senayan dipenuhi oleh para suporter dari berbagai daerah. Semua bersatu begitu kompaknya, sehingga atribut daerah masing-masing ditanggalkan sejenak demi mendukung timnas PSSI. Lagu Indonesia Raya pun bergemuruh, menyulut bara nasionalisme dalam dada.

Di layar kaca terlihat jelas rakyat menyanyikan lagu kebangsaan itu dengan tingkat emosi yang tinggi, sampai air mata mereka bercucuran. Saya sampai merinding dan terharu. Mata saya pun sampai berkaca-kaca. Ingin rasanya berada langsung di sana sambil ikut meneriakkan lagu sebagai suara anak bangsa yang nasionalis.

Teman saya, yang mendukung langsung di stadion pun merasakan aura nasionalisme yang dasyat. Katanya, suasana di sana seperti pasukan yang siap berperang. Ia pun sampai berseloroh, andai saat itu dalam keadaan perang, lalu SBY berdiri di depan meneriakkan kata “seraaaang!” sudah pasti semuanya maju, siap bertempur sampai mati! Begitulah.. menurutnya, nasionalisme orang Indonesia ternyata hebat! Walau pun hanya dalam sepak bola, karena sampai pertandingan selesai pun, ternyata penonton masih meneriakkan yel-yel, “Indonesia! Indonesia!” padahal Indonesia kalah dari Arab Saudi. Hmm.. Bara nasionalisme panas menyala, ketika kita dihadapkan dengan lawan dari negeri luar. Walau kemudian perlahan redup kembali.

Contoh lain? Sudah dua hari ini kita sedang ribut dengan Malaysia gara-gara kasus pengeroyokan Ketua Korps Wasit Indonesia, Donald Luther Colopita, oleh empat polisi(oknum?) Malaysia yang menudingnya sebagai pendatang haram. Coba lihat dampaknya. Ribuan rakyat Indonesia di berbagai daerah berunjuk rasa menuntut permintaan maaf dari pemerintah Malaysia. Kita semua bereaksi karena sakit hati melihat seorang putra bangsa kita terkulai tak berdaya dengan kondisi babak belur karena dikeroyok di negeri orang. Apalagi pihak Malaysia sedikit pun tak mau meminta maaf walau hanya untuk sekedar basa-basi. Menurut mereka, kasus tersebut adalah kasus perorangan, jadi bukan merupakan kesalahan pemerintahan (oh, jadi lepas tanggung jawab? kalo gitu polisi-polisi itu boleh dihukum di negara kita).

Kita merasa diinjak-injak oleh negara yang memang beberapa kali menyulut pertengkaran dengan negara kita ini. Kita semua kembali bersatu, melupakan semua persoalan-persoalan di negeri ini yang sudah lama basi tak terselesaikan. Kita bersatu demi harga diri yang telah dilecehkan! Hebat bukan? Bukankah situasi ini menunjukkan, bahwa bangsa kita tak takut oleh ancaman-ancaman dari luar. Bahwa bangsa kita siap bertempur demi menjaga harga diri dan membela tanah air sesuai wasiat para pahlawan kita dulu? Bara nasionalisme sudah dikumandangkan, walau suatu saat meredup kembali.

Ya, meredup kembali.. ketika redaksi berita sudah mengendurkan pemberitaan, karena ada berita yang lebih heboh lagi. Atau ketika persoalan tersebut sudah selesai. Patut disayangkan. Ketika para TKW berjatuhan di negeri orang, nyala api nasionalisme tidak sehebat kasus pengeroyokan ini. Sepertinya, bicara TKW sudah bukan hal yang luar biasa alias tidak aneh! Sebagian orang bahkan mencibir, “Mereka bodoh, udah tahu kaya gitu, malah mau jadi TKW.” Hmmm.. maaf... Mereka bukan orang-orang bodoh seperti yang dipikirkan sebagian orang. Tapi mereka adalah orang-orang yang butuh perlindungan penuh dari pemerintah dalam mencari nafkah.

Kemudian persoalan-persoalan basi di depan mata sendiri pun tak kunjung tuntas. Seharusnya kita bersatu untuk menghentikan liarnya pembalakan hutan. Bersatu melawan pungli-pungli dibalik orang-orang berseragam. Bersatu melawan mafia dinas pendidikan, mafia dinas kesehatan, mafia pemerintahan, dan bentuk-bentuk mafia di berbagai dinas pelayanan masyarakat. Nasionalisme juga berarti melawan segala bentuk penjajahan dari dalam yang bisa menghancurkan bangsa ini. Para nasionalis seperti kita hanya bisa mengurut dada melihat kenyataan yang nampak jelas di depan mata kita sambil berkata, “Ah, ini mah sudah budaya, susah untuk memberantasnya.” Ternyata nasionalisme hanya menyalak ketika ada ancaman dari luar. Padahal hal-hal yang disebut tadi adalah kunci segalanya.

Lalu bagaimana memulainya? Kita bisa lakukan dari hal kecil. Saya sudah mencoba melawan berbagai pungli baik di lembaga pemerintahan mau pun non pemerintah dengan mencoba bersikap kritis. Kadang berhasil, kadang nihil. Sulit memang. Kenapa? Karena kebanyakan orang memilih tak mau ambil pusing. Kebanyakan orang takut urusannya malah dihambat. Akhirnya para oknum itu makin kuat karena tak banyak mendapatkan perlawanan dari masyarakat. Andaikan kita bersatu, kompak melawan dengan bersikap kritis, InsyaAllah.. perlahan kebiasaan buruk yang sudah membudaya itu akan luntur oleh jiwa nasionalis kita.


Mari kita bersatu melawan segala bentuk penjajahan! Merdeka!!


I LOVE U Indonesia

0 komentar: