Tuesday, August 19, 2008

Back to “HELL”

2 comments

Sebulan lalu, saya mengibarkan bendera putih kepada orang tua saya. “Mam, pap, mohon maap, kayanya saya ngga bisa nerusin kuliah.” Yup, pernyataan ini penting mengingat status pendidikan saya yang ngga jelas juntrungannya. Dari pada mereka berharap, lebih baik saya bilang terus terang.

Walau tak ada reaksi yang berarti, namun saya bisa melihat mimik muka orang tua saya yang berubah layu. Yeach, sudah jelas mereka pasti kecewa mendengarnya.

Berbagai alasan logis pun saya lontarkan. Pertama, saya sudah terlalu lama meninggalkan kuliah. Saya pun sudah mengabaikan kewajiban saya selama empat semester dan saya tak sanggup membayarnya, karena untuk mendapatkan uang sebanyak itu tidak bisa dalam waktu sekejap. Dan kalau pun saya dapat, mending saya pake untuk nambah modal. Kemudian untuk kembali ke kampus setelah lama menghilang, tentu tidak segampang kita ijin ke toilet. Ada birokrasi yang cukup ribet untuk ditembus.

Faktor lainnya adalah usia dan waktu. Saya tahu, usia bukan halangan untuk menuntut ilmu. Tapi saya rasa (bukan saya pikir), sudah bukan saatnya lagi saya terkungkung di ruang lingkup yang menjejali pikiran saya dengan teori-teori yang itu-itu saja. Singkatnya, saya harus keluar untuk menemukan kebebasan berpikir, ide-ide gila dan kebebasan-kebebasan lainnya untuk mendapat ilmu lainnya dan rejeki tentunya. Dengan kata lain saya harus cepat di upgrade tanpa terbentur kegiatan-kegiatan yang sudah tidak relevan. Yup, waktu saya sudah terseret oleh tugas-tugas kuliah yang lumayan menyita waktu. Hebatnya, saya merasa sudah mendapatkan ilmu yang saya inginkan dari kampus. Mau alasan lebih detail lagi? mam, pap, saya ingin membahagiakan kalian. Untuk itu saya harus banyak nyari rejeki. Karena dengan rejeki, segala keinginan bisa terwujud. Bukan begitu?

Sekilas mam n pap mengerti penjelasan saya yang berapi-api itu. Mereka hanya manggut-manggut dan akhirnya menghela napas panjang menandakan kepasarahan dari sebuah kekecewaan. Well, sedih juga melihat mereka seperti itu. Tapi dalam hati saya berjanji untuk menunjukkan yang terbaik sebagai pengganti dari keputusan saya yang juga menurut teman-teman saya …yeach mengecewakan!

Keesokannya, saya disuruh menghadap lagi. kali ini mereka yang bicara dan membuat keputusan.

“Terusin kuliah kamu”

“Lho..tapi kan?”

“Pokoknya beresin, soal biaya pap yang tanggung sampe tuntas”

“Tapi kan, saya banyak kegiatan dan sibuk usaha”

“Kalo perlu usaha kamu tinggalin dulu”

“Wah, ngga bisa, saya ngga mau minta-minta duit lagi, saya udah gede ;)”

“Udah, tar kalo dah beres kuliah, terserah kamu mau ngerjain apa”

“Tapi kan…”

“mulai besok urusin lagi ke kampus tuh”

“Hiks..tapi kan…”

Setiap orang tua ingin melihat anaknya berhasil. Namun ukuran sukses bagi pap saat ini adalah bila saya lulus kuliah. Awalnya saya dongkol. Tapi perlahan saya mulai mengerti.

Setelah saya renungkan, inti dari semua ini bukanlah soal idealisme atau definisi kesuksesan antara saya dan pap. Saya telah menangkap pesan tersirat. Adalah sebuah kegagalan bagi orang tua saya bila saya sampe tidak lulus. Yeach, bisa dimengerti. Bukan semata sebuah prestise mempunyai anak bertitel sarjana, tapi ini hanyalah salah satu dari target kehidupan keluarga (terutama pap), yaitu menyekolahkan anak-anaknya hingga tuntas. Itu saja.

Sebagai anak yang ingin disebut berbakti, biasanya kita menunjukkan bakti kita dengan membelikan sesuatu atau sejumlah uang untuk orang tua kita. Sebuah hal yang wajib dan wajar. Tapi sering kali kita tak sadar berapa banyak keinginan orang tua yang terabaikan. Ya, terabaikan karena kita menganggap keinginan-keinginan itu bukanlah dari tujuan kita. Kita hanya berusaha mencapai kesuksesan demi idealisme dan definisi kesuksesan menurut kita sendiri. Sedangkan keinginan orang tua hanya diukur oleh kita dengan menjadi orang sukses secara materi, lalu memberikan uang kepada orang tua.

Saya menerawang ke depan. Bila akhirnya saya beres kuliah, saya bisa bayangkan betapa bahagianya mereka. Sebuah cita-cita yang mereka idamkan tentunya : melihat saya diwisuda. Yeach, yang saya tahu, saat ini mereka tidak menuntut apa-apa dari saya selain itu. Jadi saya rasa, ini adalah momen tepat untuk membahagiakan orang tua saya. lagian saya sudah cape dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah tidak relevan dari saudara-saudara ato teman-teman saya. Kebanyakan lajangers merasa malas bila disodori pertanyaan : “kapan kawin?” haha.. kalo saya sebaliknya. Saya rindu pertanyaan seperti itu karena pertanyaan yang ada sekarang adalah “kapan lulus?” suck!!

Menembus birokrasi kampus

Yup, seperti telah diduga sebelumnya, untuk back to hell ini memang lumayan berbelit. Mulai dari membuat surat pernyataan, administrasi, serta tetek bengek lainnya yang menyangkut data mengenai saya, karena saya termasuk dalam daftar recycle bin! birokrasi diperumit lagi oleh segelintir staff adm yang ja’im, so sibuk dan tak bersahabat (kasian bgt yah, pasti kehidupannya ga hepi). Untuk mengurus semua itu, saya dipingpong ke sana kemari. Damn, kalo ngga ingat orang tua sudah pasti saya malas buang-buang waktu dengan mereka. Karena merasa dimainkan saya pun protes dan menghadap ke pembantu ketua sub akademik. Barulah solusi terpecahkan.

Well now, I’m back to hell…
situasi dimana saya harus begadang tiap hari mengerjakan tugas-tugas karena deadline yang berdekatan, situasi yang memaksa saya tidak mandi sampe 3 hari (sueeer!!), situasi dimana saya seperti menjadi alien di kampus, situasi dimana saya banyak melewatkan kesempatan kencan ;) dan situasi-situasi lainnya yang tak layak untuk diungkapkan. Yeach, ini sebagai konsekuensi karena saya juga ngga bisa ninggalin kegiatan lain dan usaha yang sedang saya bangun.

Tapi kini saya ikhlas menjalaninya demi cita-cita orang tua yang sempat saya benamkan di laut terdalam. Paling tidak, masih ada celah untuk membahagiakan orang tua. Ok mam, pap, here I go again!!

2 komentar:

lily said...

so, sekarang masih berjuang untuk lulus boss?

gun sikasep said...

yup, sampai titik darah penghabisan!!