Sunday, August 12, 2007

Nyali saya langsung ciut

Leave a Comment

Gempa yang terjadi pada hari kamis dini hari kemarin (9/8), ternyata masih ramai dibicarakan. Malahan beberapa teman saya mengaku masih parno. Termasuk saya. melihat lampu goyang dikit aja, saya sudah langsung was-was. Atau kalo tiba-tiba pusing, langsung deh deg-degan. Padahal saya memang mengidap darah rendah. Saya baru mengalami gempa sekencang itu. kalo dulu-dulu gempa yang saya rasakan goyangannya pelan banget. Tapi kalo yang kemaren membuat saya gemetaran. Nyali saya langsung ciut!


Saat itu saya sedang sendirian nonton Transporter yang tayang di RCTI . Keluarga sudah pada tidur. Tapi saya pun tak mampu menahan kantuk. Jadi tertidurlah saya di kursi dengan posisi duduk. Saya terbangun saat kursi saya bergoyang. Seperti ada yang ngedorong-dorong dari belakang. Saya belum ngeh, karena saya pikir cuma halusinasi. Atau saya memang lagi stres. Biasanya kalo stres jantung saya berdebar-debar. Jadi pasti ada sedikit goyangan. Mata pun terpejam lagi.


Eh..tapi ko goyang lagi? Kali ini lebih kenceng. Kursi saya kaya maju mundur dengan kecepatan sekitar ½ detik setiap gerakannya. Apaan nih? Wah apa iya ada yang ngerjain? Maksudnya, ada hantu? Saya mulai deg-degan. Kursi masih terus bergoyang dengan kencangnya. Saya menoleh ke belakang. Tak ada siapa-siapa. Lalu saya tengok ke kolong kursi, tak ada sosok apa pun. Jantung makin dag dig dug! Lalu terdengar suara ….Krek..krek..krek. Lho, suara apa itu? seperti suara kayu yang hendak patah. Saya baru ngeh saat melihat lampu mengayun kencang. Hah, gempa! (euh, lelet). Barulah roh saya menyatu kembali. TV dimatikan. Yang pertama kali saya ingat adalah ayah saya yang tidur di atas. Saya lari menaiki tangga yang juga bergoyang dan mengeluarkan suara mendecit. Seperti mau roboh. Ah, lemas sekali. Saya gemetaran. “Pah, bangun Pah, ada gempa!” Lalu saya bangunkan yang lainnya, ibu, kakak dan adik. Untunglah gempa masih mau kompromi, karena saya masih mencari-cari kunci pintu yang biasanya disimpan di atas meja. Kami langsung berhamburan dari rumah menuju halaman depan dengan wajah yang panik. Di luar para pegawai saya sudah nongkrong dengan wajah yang juga tak kalah panik.


Langit tak cerah. Tak satu pun bintang bersinar. Suasana begitu hening. Tetangga di sekeliling tak ada yang keluar. Mungkin mereka terlelap. Hanya terdengar sayup-sayup suara pentungan dari kejauhan. Itu pun mungkin dari RW sebelah. Ah, nyali saya benar-benar ciut. Padahal gempanya tak seberapa dibanding jogja dan daerah lainnya yang hancur berantakan di waktu yang telah lalu.


Setengah jam berlalu, barulah kami masuk rumah kembali. Itu pun tak bisa tidur. Sambil berbaring saya menatap lampu untuk dijadikan patokan. Kalo lampu mengayun lagi, saya akan langsung loncat dari ranjang dan kembali membangunkan keluarga saya. saya takut ada gempa susulan. Tapi akhirnya rasa kantuk mengalahkan ketakutan itu. Semua kembali tertidur lelap.


Nah, kalo teman saya reaksinya lebih heboh lagi. Katanya begitu sadar akan gempa, ia langsung menyuruh anak dan istrinya masuk ke dalam lemari pakaian (ceritanya penyelamatan darurat). Selanjutnya ia keluar rumah dengan wajah panik sambil teriak-teriak membangunkan tetangganya, “Gempa! Gempa!” alhasil berhamburanlah para tetangganya itu (hmm, well done).


Gempa awal memang sulit diprediksi. Tiba-tiba ia datang tanpa permisi, menggetarkan bumi dan siap menghancurkannya. Manusia tentu tak berdaya untuk mengatasi kekuatan gempa dengan skala besar. yah, paling tidak kita berusaha "mengakali" agar kita selamat jasmani dan rohani.


Bagi keluarga saya, gempa kemarin memberikan pelajaran agar lebih siap mengantisipasi gempa. Misalnya, membiarkan kunci tetap menggantung di pintu agar tak perlu susah lagi membuka pintu. Atau, keluar lewat ruangan belakang yang sebagian besar atapnya tidak dilapisi beton. Dan yang paling penting lagi, tentunya kita tahu apa yang harus kita benahi dan tingkatkan dalam diri kita.

0 komentar: