Friday, April 4, 2008

Cari untung eeeh malah…juntei!!! (part 1)

Leave a Comment

Sudah sebulan lebih saya diparkir di rumah. Belum ada kegiatan berat yang saya lakukan paska musibah itu. Tapi saya bersyukur, kian hari kondisi kaki kiri saya makin membaik. Dan dalam tiga hari terakhir saya sudah bisa lari-lari kecil di depan rumah, walau masih terasa kaku dan linu.

Saya kapok marah sama Tuhan. Ga lagi deh. Entahlah.. apakah musibah itu memang hukuman buat saya, atau ujian yang memang harus saya alami di episode kehidupan ini. yang jelas, atas kehendakNya lah saya masih bisa menulis di blog ini.

“Mungkin tempat ini nggak nerima,” celetuk Kang Uyu partner saya, tukang kayu yang sangat ahli dalam pembuatan furniture. “Ya, ini sudah diluar akal,” dua rekannya mengamini. Saya hanya nyengir mendengarnya. Kami berempat merasa lelah dengan berbagai kendala yang datang bertubi-tubi. Sementara waktu pengerjaan sudah tak mungkin terkejar karena besoknya barang yang berupa meja+rak harus sudah diangkut ke Jakarta untuk pameran akbar penerbit se-Indonesia. Glek…

Saat itu otak saya malah sibuk meraba rencana Tuhan, sambil memikirkan dosa apa yang sudah saya lakukan? (haha.. tak terhitung..). “why?!” kata tanya itu terus terucap di ulu hati. Mental saya nyaris ambruk menghadapi kenyataan ini. Bayangkan, dari proses awal pengerjaan, kendala-kendala yang sebenarnya sudah bisa diduga, ternyata tetap tak terduga. Sebagai orang yang sok bekerja dengan sistem, tentu saya sudah siap mengantisipasi hal-hal yang tak terduga itu. Misalnya, saya hanya menerima order meja tiga set saja, mengingat waktu yang diberikan hanya satu minggu. Padahal saya bisa saja menyanggupi lima atau enam set sesuai kebutuhan mereka. Bagaimana pun saya harus punya waktu sedikitnya dua hari masa aman untuk menjaga hal-hal tak terduga. Kemudian saya pun memegang beberapa nama tukang sebagai back-up bila tukang yang bekerja sekarang tiba-tiba berhalangan. Selain itu saya memegang tiga nama untuk urusan penyewaan kompresor.

Tapi apa yang terjadi? The master plan adalah penguasa dari segala rencana. Semua yang sudah diantisipasi itu benar-benar melenceng. Secara kebetulan, seorang tukang kepercayaan saya sakit. Sialnya, nama lain yang sudah dikantongi sulit saya temui. Akhirnya waktu terbuang hanya untuk mencari para tukang itu. walau akhirnya saya berhasil menculik dua orang sekaligus. Lucunya, dua orang tersebut bukan bagian dari nama-nama yang sudah saya kantongi. Jadi, boleh dibilang gambling, karena saya belum tahu hasil kerja mereka.

Kendala lain yang benar-benar membuat mental ini ambruk adalah ketika kompresor yang biasa dipakai mendadak macet. Disusul dengan tiga kompresor yang disewa dari tiga tempat berbeda pun latah tak berfungsi. Kejadian itu berlangsung hampir seharian, sehingga waktu habis hanya untuk mencari penyewaan kompresor. Sementara tak satu pun meja dan rak yang sudah dimeni dan dicat.

Waktu sudah menunjukkan jam 9 malam. Otak saya benar-benar kram. Saat itu saya ingin berteriak memekik ke arah langit. “why!!” jerit dalam hati. Saya membayangkan, bagaimana jadinya bila besok meja-meja ini belum kelar juga. Pastilah penerbit buku ternama ini bisa gagal mengikuti pameran.

Baru sekitar jam 10-an, berkat bantuan teman saya Kang Budi, akhirnya kami mendapatkan kompresor elektrik walau pun dengan harga sewa yang lebih mahal dari biasanya. Pada awal-awal tidak ada masalah dengan kompresor tersebut. Tapi beberapa jam kemudian, masalah lainnya datang. Rupanya daya listrik 1200 watt tak mampu membendung kompresor yang berdaya 500 watt. Padahal sudah hampir semua lampu dimatikan. Parahnya, setiap kali listrik dinyalakan, sikring terlihat menyala-nyala. Seperti mau kebakaran. Setelah itu, listrik akan mati beberapa selang kemudian. Begitulah, kondisi tersebut berulang-ulang hingga fajar tiba, akibatnya pekerjaan pun tidak maksimal.

Rasanya, tidak ada waktu buat kami untuk merebahkan tubuh barang sejenak. Setelah sarapan, pekerjaan dilanjut. Ada perasaan berdosa karena saya membuat para tukang itu begadang semalaman, lalu paginya terus bekerja tanpa istirahat. Ah, tapi sebetulnya saya pun tidak pernah memaksa. Mereka memang mengerti dengan kondisi dan posisi saya.

Siang harinya saya dipanggil untuk menandatangani sebuah surat perjanjian. Yah, sekalian saja saya beberkan permasalahan yang terjadi. Si pemberi order yang juga sohib saya masih bisa mengerti. Tapi bagaimana pun sohib yang kerap dipanggil Bobos ini tentu berharap penuh pada saya. “Bagaimana pun barang harus sudah dikirim ke Jakarta hari ini,” pintanya saat itu. Sebelum angkat kaki, saya sempat berujar kepadanya, “Bos, kayanya saya harus tobat nih.” Teman saya hanya tertawa kecil mendengarnya.

“Kenapa ini harus terjadi di saat saya sedang semangat-semangatnya membangun usaha. Bukankah pekerjaan yang saya dapat ini halal? So… what’s next?” kira-kira begitulah batin saya protes.

Brak! Dalam sekejap saya terpental ke depan dan terjerembab di atas aspal. Helm terlepas dari kepala. Pandangan kabur beberapa saat. Sementara saya merasakan mobil kijang itu masih menyeret tubuh saya…

0 komentar: