Sudah sebulan lebih saya diparkir di rumah. Belum ada kegiatan berat yang saya lakukan paska musibah itu. Tapi saya bersyukur, kian hari kondisi kaki kiri saya makin membaik. Dan dalam tiga hari terakhir saya sudah bisa lari-lari kecil di depan rumah, walau masih terasa kaku dan linu.
Saya kapok marah sama Tuhan. Ga lagi deh. Entahlah.. apakah musibah itu memang hukuman buat saya, atau ujian yang memang harus saya alami di episode kehidupan ini. yang jelas, atas kehendakNya lah saya masih bisa menulis di blog ini.
Saat itu otak saya malah sibuk meraba rencana Tuhan, sambil memikirkan dosa apa yang sudah saya lakukan? (haha.. tak terhitung..). “why?!” kata tanya itu terus terucap di ulu hati. Mental saya nyaris ambruk menghadapi kenyataan ini. Bayangkan, dari proses awal pengerjaan, kendala-kendala yang sebenarnya sudah bisa diduga, ternyata tetap tak terduga. Sebagai orang yang sok bekerja dengan sistem, tentu saya sudah siap mengantisipasi hal-hal yang tak terduga itu. Misalnya, saya hanya menerima order meja tiga set saja, mengingat waktu yang diberikan hanya satu minggu. Padahal saya bisa saja menyanggupi
Tapi apa yang terjadi? The master plan adalah penguasa dari segala rencana. Semua yang sudah diantisipasi itu benar-benar melenceng. Secara kebetulan, seorang tukang kepercayaan saya sakit. Sialnya, nama lain yang sudah dikantongi sulit saya temui. Akhirnya waktu terbuang hanya untuk mencari para tukang itu. walau akhirnya saya berhasil menculik dua orang sekaligus. Lucunya, dua orang tersebut bukan bagian dari nama-nama yang sudah saya kantongi. Jadi, boleh dibilang gambling, karena saya belum tahu hasil kerja mereka.
Kendala lain yang benar-benar membuat mental ini ambruk adalah ketika kompresor yang biasa dipakai mendadak macet. Disusul dengan tiga kompresor yang disewa dari tiga tempat berbeda pun latah tak berfungsi. Kejadian itu berlangsung hampir seharian, sehingga waktu habis hanya untuk mencari penyewaan kompresor. Sementara tak satu pun meja dan rak yang sudah dimeni dan dicat.
Waktu sudah menunjukkan jam 9 malam. Otak saya benar-benar kram. Saat itu saya ingin berteriak memekik ke arah langit. “why!!” jerit dalam hati. Saya membayangkan, bagaimana jadinya bila besok meja-meja ini belum kelar juga. Pastilah penerbit buku ternama ini bisa gagal mengikuti pameran.
Baru sekitar jam 10-an, berkat bantuan teman saya Kang Budi, akhirnya kami mendapatkan kompresor elektrik walau pun dengan harga sewa yang lebih mahal dari biasanya. Pada awal-awal tidak ada masalah dengan kompresor tersebut. Tapi beberapa jam kemudian, masalah lainnya datang. Rupanya daya listrik 1200 watt tak mampu membendung kompresor yang berdaya 500 watt. Padahal sudah hampir semua lampu dimatikan. Parahnya, setiap kali listrik dinyalakan, sikring terlihat menyala-nyala. Seperti mau kebakaran. Setelah itu, listrik akan mati beberapa selang kemudian. Begitulah, kondisi tersebut berulang-ulang hingga fajar tiba, akibatnya pekerjaan pun tidak maksimal.
Rasanya, tidak ada waktu buat kami untuk merebahkan tubuh barang sejenak. Setelah sarapan, pekerjaan dilanjut.
Siang harinya saya dipanggil untuk menandatangani sebuah
“Kenapa ini harus terjadi di saat saya sedang semangat-semangatnya membangun usaha. Bukankah pekerjaan yang saya dapat ini halal? So… what’s next?” kira-kira begitulah batin saya protes.
0 komentar:
Post a Comment